Senin, 26 Maret 2012

Hikmah Senantiasa Ada..


                Kertas itu telah lusuh, pertanda bahwa kertas itu telah dibaca berkali-kali oleh pemiliknya. Nahwatunnisa, pemilik kertas itu, bahkan telah menghafal isinya diluar kepala. Tulisan itulah yang mampu membuatnya sedih dan bingung tiap kali ia membacanya.
            Dia menatap sebuah pemandangan dengan tatapan yang tidak bisa terbaca, antara sedih dan bangga. Pemandangan dimana seorang laki-laki sedang membuat bakso dengan tekun. Laki-laki itu tidak menyadari bahwa seseorang sedang memandangnya.
            Nahwa tidak bisa lagi membendung air matanya melihat Bapak yang terus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya terutama uang sekolahnya dan adik-adiknya. Ia menghela nafas berkali-kali. Pikirannya melayang pada malam itu.
            “Pak ada surat dari sekolah!” kata Nahwa
            “Surat apa Wa?” tanya Bapak
            “Uang RSBI Nahwa belum dibayar dari tahun lalu” jawab Nahwa
            “Berapa jumlah yang harus dibayar?” tanya Bapak
            “Rp.2.500.000,- Pak” jawab Nahwa
            “Sabar dulu ya Wa, nanti Bapak coba cari pinjaman!” jawab Bapak
***
              Nahwa masih menatap kertas ditangannya dengan ekspresi bingung. “Bagaimana aku bisa membayar uang RSBI tanpa harus meminta kepada Bapak dan ibu?” pikirnya. Aku sudah tidak kuat. Aku menangis sambil memegang kertas yang ada ditanganku. Sudah tiga hari aku terus memikirkan bagaimana caranya agar aku mendapatkan uang untuk membayar uang sekolahku. Aku tidak kecewa dengan Bapak dan Ibu. Kucoba tersenyum saat kupandang wajah keriput mereka. Aku yakin akan kemurahan Allah. Walau bagaimanapun, Allah memberikan kesulitan sesuai dengan kadar kemampuanku. Sungguh, demi Allah, aku yakin akan janji Allah.
           
1
Pukul enam lewat lima belas menit, aku berangkat ke sekolah. Aku sudah terbiasa berangkat pagi-pagi. Aku duduk dibangkuku sambil membuka buku Biologi, karena aku menyukai pelajaran biologi dan untuk mengulang kembali materi yang telah dijelaskan oleh Ibu guru. Selain biologi, aku juga menyukai pelajaran agama.
Pelajaran pertama yaitu Agama. Aku sudah mengerjakan peer yang diberikan oleh Ibu Guru. Bel tanda masuk berbunyi. Semua murid masuk dengan tertib dan duduk di bangkunya masing-masing. Tetapi ada sebagian murid yang masih betah duduk di emperan kelas.
“Assalamu’alaikum!” sapa seorang pria ramah begitu seisi kelas tertib. Ia meletakkan tasnya di atas meja.
“Wa’alaikumsalam, pak!” jawab anak-anak kompak. Perkenalkan nama saya Zikrul Firmansyah. Kalian bisa memanggil saya dengan Firman. Saya menggantikan Ibu Nisa, beliau di pindah tugaskan keluar kota. Huuuuu…. teriak anak-anak. Bu Nisa bilang materi untuk bab 2 sudah selesai. Sebelum pindah ke bab 3, apa ada yang ingin di tanyakan untuk bab 2?
“Langsung saja, Pak, ke pertanyaan…..” Icha berhenti sejenak untuk memancing perhatian Pak Firman. Anak-anak memusatkan semua perhatiannya kepada Icha. Aku tidak tertarik dengan apa yang akan di tanyakan Icha. Aku lebih fokus mempelajari materi yang lalu.
Setelah Pak Firman memperkenalkan diri dan semua petanyaan anak-anak di jawab beliau mulai mengabsen kami satu persatu. “Nahwatunnisa.”
“Hadir.” Beliau memerhatikanku dengan seksama. Aku jadi salah tingkah dengan pandangan Pak Firman. Aku langsung memfokuskan pandanganku ke surah yang aku baca. Setelah selesai mengabsen, Pak Firman menjelaskan tentang hari kiamat. Banyak siswa yang berpura-pura takut agar perhatian Pak Firman tertuju kepada mereka. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan teman-teman. Tiba-tiba Pak Firman bertanya kepadaku. “Nahwa, apa ada yang ingin ditanyakan?” Aku kaget mendengar pertanyaan Pak Firman. Aku tergeragap mendengar teguran itu. Denga suara terbata-bata aku menjawab. “T…tidak, Pak. Bel tanda keluar berbunyi. Semua murid berhamburan menuju kantin. Tapi ada sebagian murid yang membawa bekal, termasuk aku.
2
            Siang itu aku dipanggil kembali ke ruang kesiswaan. Wakasek kurikulum menanyakan kapan aku bisa membayar uang sekolahku. Aku bingung, apa yang harus aku jawab. Melihat kegelisahanku Pak Ali memberikan waktu kepadaku untuk membayar uang sekolahku. 
***
            Aku menyusuri koridor sekolah dengan langkah gontai. Aku melihat sekelompok siswa-siswi yang sedang bercanda ria. Aku berpikir kembali, “mereka dapat bersekolah dengan mudah tanpa memikirkan uang sekolahnya dan mereka dengan mudah membeli semua barang yang mereka inginkan tanpa harus bersusah payah mendapatkan uang” . Aku terus menyusuri koridor sambil memikirkan cara untuk mendapatkan uang. Aku berpapasan dengan beberapa murid dan sebagian mereka menyapaku.
***
            Beberapa hari setelah kedatangan Guru baru di kelasku, hari ini ada siswa baru pindahan dari Makassar. Namanya Faris. Anaknya sih biasa-biasa saja, tetapi dia rada jenaka dan tampaknya agak pemberani. Coba bayangkan, meski anak baru, eh dia sudah berani bertingkah konyol. Waktu dia disuruh memperkenalkan diri di depan kelas, dengan gayanya yang santai dan rada konyol, dia berkata, “Selamat pagi teman-teman, selamat pagi SMA 4, selamat pagi Kendari, dan selamat pagi Indonesia…..
            Begitulah Faris membuka perkenalan dengan gayanya yang jenaka, sehingga membuat hampir semua yang ada di kelas itu termasuk Pak Adi, wali kelasku tersenyum. Kubilang hampir, karena memang ada yang nggak terpengaruh oleh ucapan jenaka yang dilontarkan oleh Faris. Siapa lagi kalau bukan aku yang oleh teman-teman dijuluki si “Putri Einsteen”.
            “Sebagai siswa baru yang emang ngetop karena emang aku keren, maka kurasa sudah banyak yang kenal denganku. He he hee…. Tetapi karena aku diwajibkan untuk memperkenalkan diri, maka dengan tanpa mengurangi kekerenanku, aku akan memperkenalkan diri”.
              
3
            Kembali hampir semua siswa juga guru wali kelas tersenyum. Bahkan ada beberapa orang siswi yang tertawa cekikikan. Tapi aku? Rasanya aku tidak pernah ketawa kecuali tersenyum, semenjak aku tahu bahwa Rasulullah tidak pernah tertawa terbahak-bahak. Tapi hal semacam ini tidak perlu ditertawakan.
            Kurasa Faris mungkin heran melihat sikapku yang dingin bagai salju. Sehingga meski dia ngebayolbegitu rupa dengan kejenakaannya, yang mampu membuat yang lainnya tertawa, namun nggak juga mampu membuatku tersenyum. Kuakui, sikap, tingkah laku dan cara bicara Faris dalam memperkenalkan diri memang lucu dan jenaka. Namun hatiku membeku, sulit untuk merasakannya.
            Suasana kelas pun semakin tambah memanas, akibat sikap konyol yang ditunjukkan oleh Faris disambuti oleh celoteh teman-teman yang lain. Bahkan beberapa cewek memandang dengan penuh antusias. Maklumlah, tampang dan penampilan Faris memang lumayan, meski dibandingkan dengan Pak Firman bagiku masih belum sebanding. Uups… Kenapa aku malah membandingkan Pak Firman dengan Faris???
“Namaku yang keren ini Faris...”
“Faris siapa?” sambut Anita.
“Muhammad Salman Al Farisi.”
“Muhammad Faris?”
“Bukan. Itu sih anggota DPR.”
“Siapa tadi? Ahmad Faris?” teriak cewek lain.
Agaknya hampir semua cewek di kelas ini tertarik pada cowok yang lumayan ganteng dan keren itu, kecuali aku.
“Bukan… nama saya Muhammad Salman Al Farisi. Bukan Muhammad Faris atau Ahmad Faris. Saya nggak ada hubungan darah sama mereka.
4
            “Hei Faris, kamu tuh mirip sama bintang film,” celetuk Dino yang duduk paling belakang.
            “Bintang film apaan?”
            “Tarzan.”
            “WOWWW… KERENNN…!”  sambut para cewek, kecuali tentu saja aku yang nggak terpengaruh oleh suasana panas di dalam kelas.
            “Tapi bukan Tarzannya.”
            “Habis apanya?” tanya Andita
            “Temennya…”
            “Ah, Jean kan perempuan…”
            “Aku bukan ngomong Jean,” sahut Dino.
            “Lalu siapa?” Tanya Anita.
            “Cetah…”
            Semua anak di kelas itu tertawa. Bahkan Pak Adi yang memang memberi kesempatan kepada Faris untuk berorientasi pada kelas itu pun ikut tersenyum. Sebenarnya aku pun nggak tahan juga mendengarkan kekocakan yang terjadi. Namun begitu, aku tetap berusaha untuk nggak terpancing oleh keadaan disekelilingku. Sehingga aku tetap saja diam sembari menekuni buku yang tengah kubaca. Ya, ketimbang ikut larut dalam suasana kelas yang menurutku nggak ada manfaatnya, mending aku membaca buku, sehingga akan semakin menambah pengetahuanku.
            “Kalau aku cetah, berarti kamu gorilanya, dong!” balas Faris.
            Gelak tawa dikelas ini pun seketika meledak. Namun Faris hanya tersenyum.
            “Oh ya, sebelumnya kamu sekolah dimana?”
5
            “Aku pindahan dari SMA Negeri 1 Makassar…”
            “Kenapa pindah?” tanya seorang siswi.
            “Sudah nggak terpakai kali?” timpal yang lain.
            “Atau didepak?!” teriak seorang siswa.
            “Bukan…!” sahut Faris.
            “Lantas kenapa pindah?” tanya Serina, yang duduk denganku. Sepertinya Serina pun ikut terseret ke dalam kekonyolan dan kejenakaan yang ditampilkan oleh Faris.
            “Abiku dipindah tugaskan, jadi ya, ikut Abi tinggal di kota Kendari yang nggak pernah macet dan menurut kabarnya begitu damai,” jawab Faris.
            Suasana riuh itu baru berhenti setelah wali kelas menyuruh Faris duduk kembali. Perkenalan dianggap cukup. Dan siswa baru di SMA 4 Kendari itu kembali ke tempat duduknya.
            Sebagaimana murid SMA 1 Makassar yang terkenal pintar, Faris pun ternyata cukup cerdas. Itu dibuktikanny, ketika Pak Adi ngasih soal yang lumayan rumit. Ternyata, ia mampu menyelesaikannya.
            Pak Adi jadi penasaran. Ia member soal lagi. Kali ini lebih rumit. Namun tampaknya Faris yang pada dasarnya memang otak didalam batok kepalanya nggak tumpul, dapat mengerjakan.
            Diam-diam, aku pun jadi kagum pada keenceran otaknya. Apalagi Pak Adi dengan sungguh-sungguh mengungkapkan kekagumannya pada siswa baru pindahan dari SMA 1 Makassar itu.
            “Bagus! Kamu pintar, Faris!”
           

6
Pak Adi untuk kesekian kalinya member soal yang harus dikerjakan oleh semua siswa di kelas itu. Lalu setelah menuliskan soal-soal dipapan tulis, pak Adi pun keluar dari ruang kelas. Namun tak lama kemudian, Pak Adi masuk kembali. Kemudian berkeliling kelas, mengawasi para siswanya yang tengah mengerjakan soal-soal yang diberikannya.
Saat itulah, muncul sebuah kejadian yang membuatku cukup terkejut. Anak baru pindahan dari Makassar yang memang berotak cukup encer itu, ketahuan oleh Pak Adi tengah menulis sebuah puisi yang ditunjukkan untukku.
“Faris…”
“Eh, ya, Pak?”
“Kamu sudah selesai?”
“Sudah Pak…”
“Coba saya lihat!”
Faris membuka lembaran bukunya dan menyerahkan soal-soal itu. Pak Adi mengangguk-angguk. Ia merasa senang dengan anak ini. Setelah memeriksa hasil jawaban Faris, kemudian Pak Adi membuka-buka lembaran yang lain. Dan tiba-tiba Pak Adi memanggil anak yang duduk disamping Faris.
“Andre!”
“Ya, Pak?”
“Kamu bisa baca puisi?”
“Nggak Pak…”
“Ah, masa? Cuma baca kok. Bisa kan?”
“Bisa…”
“Nah, puisi ini tolong bacakan didepan kelas…!”
7
Tiba-tiba Faris bangun dari duduknya.
“Saya mohon jangan dibacakan di depan kelas, Pak. Itu hanya sekedar orek-orekan saya setelah selesai mengerjakan soal-soal Bapak tadi.
Pak Adi tersenyum tenang.
“Soalmu betul semua. Kamu hebat. Nah, tentunya teman yang lain juga tahu bahwa selain hebat mengerjakan soal-soal fisika, kamu juga hebat dibidang sastra!”
“Tapi jangan itu, Pak. Saya mohon!”
“Ah, nggak apa-apa. Baiklah, kita undi saja. Nah anak-anak, didalam buku ini ada sebait puisi menarik. Faris membuatnya hanya dua menit. Sebaiknya dibacakan atau nggak?” tanya Pak Adi pada siswa yang lain.
“BACAKANNN…!”
Seisi kelas itu mendaulat. Bahkan aku pun ikut menoleh kearah Faris. Keningku berkerut. Akan tetapi aku nggak mampu menebak apa sebetulnya yang dilakukan cowok cukup cerdas itu. Sehingga yang bisa kulakukan hanya menarik napas panjang. Kemudian menekuni bukuku kembali. Mengerjakan sisa-sisa soal fisika yang memang belum selesai.
“Faris sudah mengerjakan soal-soal yang Bapak tuliskan tadi dengan benar dan tepat…” kata Pak Adi lagi sambil tersenyum senang.
Banyak siswa yang berdecak kagum.
“Maka dari itu, ini bukan hukuman. Sama sekali bukan! Ini hanya sekedar tambahan perkenalan dari Faris. Apakah kalian setuju dibacakan?”
“SETUJU…!”
“Nah, bagaimana Faris? Semua temanmu ingin tahu puisimu. Tentunya saya nggak adil jika nggak meminta pendapatmu. Bagaimana?”
8
“Terserah Bapak, tetapi saya sama sekali nggak bermaksud apa-apa terhadap nama yang saya tulis disana!” kata Faris akhirnya. Tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya pun seketika agak memucat. Bahkan keringat dingin tampak keluar membasahi keningnya.
“Nah, Andre, coba bacakan puisi ini dengan baik!” membaca. Kemudian ia tampak tersenyum sendiri. Sementara Faris hanya menunduk. Semua cewek di kelas itu memperhatikan dengan penuh minat. Setelah terdiam beberapa saat, Andre dengan suaranya yang khas mulai membacakan puisi yang hanya satu bait itu.
Nahwa…
Aku tersentak begitu Andre memulai membaca puisi yang ternyata berhubungan denganku. Tanpa sadar kuangkat wajahku, memandang ke arah Andre, lalu beralih memandang ke arah Faris yang tampak masih tertunduk dalam.
Indahnya bunga, tak seindah wajahmu
Halusnya kapan, tak sehalus kulitmu
Manis madu, tak semanis senyummu
Kau begitu anggun penuh pesona
Sungguh sempurnanya Allah menciptakanmu
Nahwa…
Kamu cantik penuh pesona.
Tercermin dalam wajahmu,
Kelembutan dan keayuan.
Sayang, wajahmu yang ayu nan menawan
bagai terbalut kabut.
9
Namun, itu justru membuatku tertarik,
sehingga seakan ada sesuatu yang mendorongku
untuk mengetahui serta lebih dalam lagi mengenal akan hatimu.
Begitu selesai puisi itu dibacakan oleh Andre, terdengar tepuk tangan dan suitan beberapa anak cowok. Kalimat itu memang puitis sekali. Akan tetapi isi puisi itu membuat mukaku jadi memerah. Kutatap Faris. Entah mengapa hatiku bergetar. Aku pun bertanya dalam hati, apa maksud cowok itu yang sebenarnya?
***
Cowok itu benar-benar konyol dan cukup berani. Sudah tadi di kelas dia menulis puisi tentang diriku, eh, saat aku hendak pulang, dia dengan nekad memanggil namaku dan kemudian mendatangiku.
“Tia…”
Aku menoleh, kemudian menatap kedatangan Faris dengan kening berkerut. Namun begitu, karena pada dasarnya aku memang orangnya nggak jutek, akhirnya kubalas sapaannya.
“Hai, Ris…?”
“Maaf aku mengganggu.”
“Tak apa. Ada apa?”
 “Apa kamu marah padaku?”
Aku menggeleng.
“Aku nggak sengaja menulis namamu…”
Aku hanya tersenyum.
“Puisimu bagus,” pujiku.
10
“Benar kamu nggak marah?”
“Mengapa aku harus marah?” balikku.
“Aku takut kamu tersinggung…”
“Untuk apa? Bukankah kamu tadi bilang nggak bermaksud apa-apa?”
Faris menggaruk kepalanya yang nggak gatal.
“Sudah lama senang menulis?” tanyaku.
“Nggak pernah…”
“Tapi tadi benar bagus kok, kalau boleh aku ingin minta dibuatkan sebuah puisi. Boleh?” pintaku lirih sambil tersenyum.
“Tapi benar kamu nggak marah tadi?”
“Kalau aku marah kenapa?”
“Aku takut kamu benci aku…”
“Tak ada alasanku tuk membencimu. Aku justru mengagumimu. Kamu pandai dan mengagumkan. Puisimu juga bagus. Aku menyukai itu…”
“Tapi kata teman-teman kamu, dingin?”
Aku tertawa mendengar perkataannya.
“Mengapa kamu tertawa?”
Kulangkahkan kakiku. Lalu aku tersenyum pada Faris dan berkata, “Kamu lucu… jadi dari tadi kamu memperhatikan aku hanya karena kamu dengar dari mereka bahwa aku dingin?”
“Tapi aku melihatnya sendiri, kamu selalu murung…”
“Karena hidup ini menyakitkan …”
11
“Mari Faris, aku duluan…” kataku pamit.
Faris hanya mengangguk dan membiarkan aku pergi..
*bersambung..

Sabtu, 19 November 2011

Kata Maaf

Kadang seorang teman yang baru dan dekat dengan kita akan kita anggap sebagai seorang sahabat, tetapi ketika dia menjauh dan berteman dengan orang lain kita menganggapnya bukan sahabat kita lagi. Apakah dia mengerti apa yang kita rasakan setelah dia jauh dari kita???
Dia tidak mengerti, mungkin yang dia tahu kita yang menjauh dari dirinya.
Wahai saudariku renungkanlah kembali semua yang pernah terjadi diantara kau dan sahabatmu, bila terjadi kesalahpahaman minta maaflah. Jangan menunggu dia yang minta maaf padamu, karena memaafkan itu lebih baik.
LIFE IS STRUGGLE ^_^